Sejarah Pendidikan di Minangkabau


Kerajaan Minangkabau
Pendidikan menurut adat Minangkabau di Sumatera Barat sudah berjalan jauh sebelum kedatangan agama Budha masuk ke Minangkabau. Pendidikan itu disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan keberhasilan pendidikan itu dinilai dari penguasaan adat dan keahlian menyelesaikan masalah kehidupan. Untuk dapat menguasai pengetahuan dan pelaksanaan adat yang luas dan rumit itu dipelajari melalui contoh dan laku perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang disampaikan dalam bentuk prosa lirik. Minangkabau telah lama dikenal sebagai suatu suku bangsa yang ahli dalam prosa lirik atau sastra lisan. Tiga ratus tahun sebelum Masehi, negeri di bawah angin ini telah dikenal sebagai bangsa ahli sastra yang tercantum dalam buku Kutub Khanah di Mesir. Hubungan itu telah terjalin juga dalam perdagangan kapur barus (kampher, lat.) yang diperlukan untuk pengawetan mummi raja-raja Mesir. Pada masa kebudayaan Hindu berkembang di India, I-tsing seorang musafir dari Cina, sengaja membawa dua orang teman pada abad ke-7 untuk menyalin 200 buah pepatah-petitih di Malaya Giri (Gunung Malayu) yang terletak di tepi Batang Hari.
Pada masa pemerintahan Adityawarman, didirikan tiga pusat pendidikan agama Budha yang sacral yakni di Biaro, Pariangan, di Baso dan di Petok, Pasaman dengan memanfaatkan bangunan tradisional surau. Adityawarman ikut memecahkan masalah sosial mengenai remaja di Minangkabau yang tidak mempunyai tempat tinggal di rumah gadang.

Dari Berbagai Sisi dan Penjuru
Masuknya agama islam di rantau timur di masa itu tidak terlepas dari persaingan perdagangan dan pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti melemahnya kekuasaan Sriwijaya, dan lahirnya kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam (840 M). Berkembangnya Malaka dan Samudera pasai menjadi kota dagang dan kerajaan Islam (1400 M), dan kalahnya Sriwijaya melawan Majapahit, sejak tahun 1477 M itu, pantai timur ranah minang di bawah kendali Majapahit hingga meninggalnya Hayam Wuruk, dan di masa itu kerajaan Pagarruyung di Minangkabau diperintah oleh keturunan Kertanegara dan Dara Petak, putri dari Minang, yaitu Adityawarman.
Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai dimasuki dan ddominasi oleh pemeluk Islam, walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi dinastinya berkuasa hingga 1581 M. Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja turunan Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan dan lambang persatuan. Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau penghulu di rantau.
Raja berdaulat dengan tiga kekuasaan serangkai Rajo Tigo Selo, di Pagarruyung, di Luhak Tanah Datar, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat yang mempunyai daerah kedudukan masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus. Tiga serangkai kekuasaan ini diperkuat oleh dewan menteri Basa Ampek Balai, yang terdiri dari Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso, Indomo dari Sumanik, dan diperkuat lagi oleh Tuan Gadang dari Batipuh dalam urusan pertahanan. Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat, seperti adaik mananti, syarak mandaki. Namun kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala itu.

GERAKAN PEMBARUAN
di dalam kehidupan beradat dan beragama di Minangkabau, dapat dikatakan satu gerakan pembaruan oleh para ulama zuama, yakni para cendekiawan yang hidup dengan latar belakang kehidupan adat Minangkabau yang kuat, dan kemudian menuntut mendalami ilmu pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu, sampai ke Mekah al Mukarramah, yang kemudian diwarisi sambung bersambung membentuk rantai sejarah yang panjang, dan bekelanjutan terus ke abad-abad sesudahnya. Masuknya Islam dan sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar dengan sejarah pertumbuhan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam.
Gerakan Dakwah Persuasif
Setelah Islam berkembang di Minangkabau, Syekh Burhanddin mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan agama Islam di Ulakan. Syekh Burhanuddin berhasil mendapat kesepakatan dengan Basa Ampek Balai dan Kerajaan Pagaruyung, bahwa adat dan Islam sama terpakai di Alam Minangkabau. Kedatangan Syekh Burhanuddin (Pono), yang berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkili di Aceh, dan kemudian mengembangkan Islam di Minangkabau dengan membuka surau atau sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman, dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek, Padangpanjang, mulai melakukan gerakan pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha, serta menghapuskan kebiasaan-kebiasaan anak nagari seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasaran dakwahnya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang. Murid beliau mulai banyak dari darek atau dari Luhak nan Tigo. Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam hal setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang pulang dari berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat yang salah menurut syarak. Lambat laun, kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah bendang dalam nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti kedudukan panungkek, dan manti, dubalang.
Semenjak itu lahir beberapa ungkapan petatah-petitih, syarak mandaki adaik manurun, syarak nan lazim adaik nan kawi, syarak babuhue mati adaik babuhue sintak, syarak balinduang adaik bapaneh, syarak mangato adaik mamakai, syarak batilanjang adaik basisampieng. Kesepakatan ini lebih mudah dilaksanakan dan disetujui kedua belah pihak, karena Tarapang yang kemudian menjadi Tuan Kadi di Padang Ganting adalah teman seperguruan dengan Syeh Burhanuddin di Aceh. Kesepakatan yang disponsori oleh dua orang seperguruan itu lebih dikenal dengan nama Perjanjian Marapalam. Tamatan pendidikan dari surau Ulakan kemudian mengembangkan surau-surau di pedalaman Minangkabau.
Bukan secara kebetulan, Islam mendapat tanah yang subur untuk berkembang di pedalaman tanah Melayu-Minangkabau. Ajaran Islam melahirkan spesialisasi dalam memperdalam ajaran agama di surau-surau meliputi ibadah, mualamalah dan ilmu alat. Surau di Kamang memperdalam ilmu alat, nahu dan sharaf, Tuanku nan Kecil di Koto Gadang dalam ilmu mantik dan maani, surau Tuanku Sumanik dlam ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh, surau Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, dan surau Tuanku di Salayo dalam badi’, maani dan bayan. Sedangkan surau Tuanku Nan Tuo dalam tabiyah, hadts, tafsir, dan mantik maaani. Keragaman mempelajari ajaran Islam demikian melahirkan kaum intelektual dengan statigrafi pengetahuan yang tercermin dari gelar yang disandang alumninya, seperti Kari, Pakih, Labai, dan Tuanku. Gelar ini kemudian diterapkan sebagai aparat alim ulama suku di Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat (1740 – 1803) di bawah kepemimpinan Tuanku Nan Tuo sebagai pelindung pedagang melahirkan pratagoni sehingga surau dapat memajukan perdagangan yang mendatang kesejahteraan penduduk Minangkabau dan menguasai pusat-pusat perdagangan. Gerakan ini ditunjang oleh Tuanku-tuanku generasi muda, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Damansiang Nan Mudo, Tuanku Lintau. Semua tuanku itu ikut memajukan kesejateran masyarakat lingkungannya, sehingga surau-surau mereka menjadi pelopor kemajuan perekonomian masyarakatnmya. Gerakan Kembali ke Syariat menyumbangkan ajaran Islam ke dalam adat Minangkabau. Di samping harta pusaka tinggi, difatwakan harta pencaharian, yang diperdapat dari perdagangan yang diwariskan untuk anak dan isteri.
Semenjak itu terjadilah proses pembauran yang kental antara syariat Islam dengan budaya Adat Minangkabau. Menyebarnya syariat Islam di Minangkabau dengan suasana damai merobah kebiasaan-kebiasaan adat yang bertentangan dengan Islam. Semenjak itu pula proses itu berlangsung sampai saat ini sehingga ulama dapat melibatkan masyarakat Minangkabau di dalam syariat Islam, sehingga melahirkan kepemimpinan adat dan agama dalam setiap lembaga masyarakat. Dalam kaum dan suku mempunyai penghulu (manti dan dubalang) dan malin (imam, khatib, dan bila) dan di nagari terdapat kepemimpinan Kerapatan Adat Nagari yang terdiri dari Penghulu, Imam Khatib dan Cadiak Pandai.
Kepemimpinan ini dikenal dengan Tungku Tigo Sajarangan dengan pegangan masing-masing hukum adat, agama dan peraturan atau undang-undang, yang disebut tali tigo sapilin.
Unknown
Unknown

Previous
Next Post »