Teeuw (dalam Ratna, 2007: 4-5) menyatakan
bahwa sastra berasal dari akar kata sas
(Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi.
Akhiran tra berarti alat, sarana.
Dalam perkembangannya, sastra sering dikombinasikan dengan awalan “su”,
sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil cipta yang baik dan
indah. Dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan
kreativitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan.
Sedangkan pengertian kebudayaan
sebagaimana yang telah diuraikan di atas yaitu seluruh aspek kehidupan manusia
dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan
tingkah laku (Marvin Haris dalam Ratna, 2007: 5).
Dari kedua pengertian dasar tersebut,
dapat disimpulkan bahwa sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, yaitu
aktifitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan
emosionalitas, kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai
kemampuan intelektualitas (Ratna, 2007: 6).
Sastra dan kebudayaan, baik secara
terpisah, yaitu “sastra” dan “kebudayaan”, maupun sebagai kesatuan, selalu
dikaitkan dengan nilai-nilai positif. Artinya, sastra dan kebudayaan, yang
dengan sendirinya dihasilkan melalui aktifitas manusia itu sendiri, berfungsi
untuk meningkatkan kehidupan. Intensitas hubungan antara sastra dan kebudayaan
dapat dijelaskan melalui dua cara sebagai berikut. Pertama, sebagaimana terjadinya intensitas hubungan antara sastra
dengan masyarakat, sebagai sosiologi sastra, kaitan antara sastra dan
kebudayaan dipicu oleh stagnasi strukturalisme. Seperti diketahui, analisis
dengan memanfaatkan teori-teori strukturalisme terlalu asyik dengan unsur-unsur
intrinsik sehingga melupakan aspek-aspek yang berada di luarnya, yaitu aspek
sosiokulturalnya. Kedua, hubungan
antara sastra dan kebudayaan juga dipicu oleh lahirnya perhatian terhadap
kebudayaan, sebagai studi kultural, di mana di dalamnya yang banyak dibicarakan
adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kritik sastra (Ratna, 2007: 10).
Sebagai disiplin ilmu yang berbeda, sastra
dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat,
manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2007:
13).
1. Sastra
dalam Konteks Sosiobudaya
Dari enam asumsi dasar kajian konteks
sosiobudaya berasal dari Grebstein (Sapardi Djoko Damono dalam Endraswara 2008:
92), terdapat empat kajian konteks sosiobudaya yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian, yaitu:
a.
Karya sastra tidak dapat
dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya karena setiap karya sastra
pada dasarnya adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit antara
faktor-faktor sosial dan kultural.
b.
Gagasan yang ada dalam
karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, tak ada
karya besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal.
c.
Setiap karya sastra yang
bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan
kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang.
d.
Masyarakat dapat
mendekati karya sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau
faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni
kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif.
Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis,
atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
Pendekatan sosiobudaya tersebut, dapat
digunakan dalam penelitian ke dalam dua segi. Pertama, berhubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi
sosiobudaya. Kedua, mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra
(Endraswara, 2008: 93).
Pendekatan yang mengungkap aspek sastra
dengan refleksi dokumen sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa karya sastra
menyimpan hal-hal penting bagi kehidupan sosiobudaya. Pendekatan ini hanya
mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat keadaan sosiobudaya
masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks,
melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait dengan sosiobudaya.
2. Eksistensi
Bumi Cinta dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Buehler (2009: 53) menjelaskan,
keberhasilan demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh pemahaman bahwa
nilai-nilai demokrasi bersumber dari ajaran Islam. Dari penjelsan tersebut
dapat digambarkan bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim,
mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama dalam konteks politik, disinalah
dapat dilihat peran penting para tokoh agama dalam mengrahkan pandangan
masyrakat. Pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh
karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubyektif
karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama,
diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang
terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Salah satu jalan untuk menikmati karya
sastra adalah melalui pengkajian stilistika. Stilistika adalah ilmu yang
mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra. Semakin pandai pemanfaatan
stilistika, karya sastra yang dihasilkan akan semakin menarik. Menurut
Endraswara (2008: 72) penelitian stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa
sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan
sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra akan menjadi
hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh
kemampuan pengarang dalam memainkan bahasa. Gaya dalam konteks kajian retorika
berkaitan dengan cara penyampaian gagasan dan efeknya bagi pembaca. Istilah
retorika itu sendiri lazim diartikan sebagai seni dalam menekankan gagasan dan
memberikan efek tertentu bagi penanggapnya.
Selain aspek estetika, karya sastra juga
harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral,
kepincangan-kepincangan sosial, dan problematika kehidupan manusia beserta
kompleksnya persoalan-persoalan kemanusiaan. Habiburrahman El Shirazy merupakan
seorang pengarang yang ikut meramaikan dan mampu menggugah dunia kesusastraan
Indonesia dewasa ini. Keanekaragaman dan style Habiburrahman El Shirazy
melalui novel Bumi Cinta sangat perlu dan menarik untuk diteliti. Sejak
kemunculannya novel Bumi Cinta mendapatkan tanggapan positif dari
penikmat sastra. Novel ini sangat religius, berkisah tentang seorang pemuda
muslim Indonesia di tengah kehidupan Moskow, Rusia yang penuh dengan
tantangan-tantangan.
Sistem nilai budaya merupakan inti
kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang
berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku
sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai
budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dari berbagai pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa sistem nilai pendidikan budaya merupakan nilai yang menempati
posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya
abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada
gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material
sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
tradisional religius, pemimpin spiritual memiliki peranan yang lebih penting
daripada yang lain. Pergeseran nilai sosial budaya yang terjadi pada
masyarakat, selain perubahan internal atau dari dalam diri pribadi. Peran tokoh
agama mendominasi pergeseran nilai-nilai budaya tersebut.
Kisah di novel ini terbilang sangat
menarik. Ayyas, dikisahkan melakukan riset Thesis di MGU, kemudian bertemu
dengan Anastasia Palazzo. Karena keterbatasan dana, dia mendapatkan apartemen
yang murah atas bantuan teman SMP nya Devid yang ternyata dihuni oleh dua
perempuan yang cantiknya sangat mempesona. Merekalah Linor kemudian diketahui
berdarah Palestina dan Yelena, seorang pelacur papan atas dengan pesona fisik
khas nonik-nonik Rusia yang sangat menggoda.
Kehidupan yang bebas di Rusia memberikan
godaan yang dahsyat bagi Ayyas. Bagaimana ia menajaga pandangan selama
berinteraksi satu rumah dengan Linor dan Yelena yang sama-sama menggunakan
dapur dan ruang tamu. Yelena yang berpakaian sangat minim di rumah, juga pernah
menggodanya. Namun kekuatan iman Ayyas berhasil melewati semua itu.
Novel ini berhasil menuturkan detail kisah
kuatnya menjaga kehormatan Ayyas dengan sangat lengkap hingga kita juga
menyadari bahwa Ayyas juga seorang manusia biasa dengan segala kekurangannya.
Banyak pesan dan hikmah yang banyak
mengalir di tulisan ini. Bahkan sangat direkomendasikan buat anda khusunya pada
lelaki yang sedang menempuh setudi di negara yang sangat bebas. Episode
keteladanan Ayyas dalam menjaga kehormatannya, juga dituliskan beberapa langkah
aplikasi dari hadits-hadits Rasulullah membuat novel ini berisi pesan yang
sangat aplikatif. Bagaimana puasa bisa meredam nafsu, bagaimana tilawah mampu
mengikat hati kita dengan Allah, dan bagaimana Masjid menjadi sarana terindah
untuk meneguhkan iman, menjadi tulisan-tulisan yang menarik dalam novel ini.
Untuk lengkapnya anda bisa download Ebooknya disini Download
Untuk lengkapnya anda bisa download Ebooknya disini Download
3 komentar
maaf mau nanyak..nama penulis blognya siapa ya ?
mohon balasannya, karena penting
maaf mau nanyak..nama penulis blognya siapa ya ?
mohon balasannya, karena penting
emang ap masalahnya mbak penting amat kayanya?
ntr saya bantu cariin oranya
EmoticonEmoticon