Berguru Budaya Melayu
Dua
lelaki itu sedang beradu. Gerakan kaki dan tangannya seirama suara tawak-
tawak. Saling berhadapan dengan sorotan mata yang tajam. Satu dua pukulan Marau
mengarah berlawanan arah. Ke atas dan ke bawah. Tapi perisai pelaik siap menangkis
pukulan. Keduanya melanjutkan gerakan hingga suara tawak- tawak tidak lagi
terdengar. Pertunjukan usai.
Dua
lelaki itu sedang beradu. Gerakan kaki dan tangannya seirama suara tawak-
tawak. Saling berhadapan dengan sorotan mata yang tajam. Satu dua pukulan Marau
mengarah berlawanan arah. Ke atas dan ke bawah. Tapi perisai pelaik siap
menangkis pukulan. Keduanya melanjutkan gerakan hingga suara tawak- tawak tidak
lagi terdengar. Pertunjukan usai.
Itu seni pertunjukan tari “ Otar- Otar.” Salah satu seni tari dari masyarakat Desa Ratu Sepudak, Dusun Kota Bangun, Kecamatan Galing.
Itu seni pertunjukan tari “ Otar- Otar.” Salah satu seni tari dari masyarakat Desa Ratu Sepudak, Dusun Kota Bangun, Kecamatan Galing.
Tawak
adalah sebutan masyarakat Kota Lama, biasa kita mengenalnya dengan sebutan gong
yang terbuat dari bahan logam, jika dipukul menghasilkan bunyi menggema.
Sementara
Marau adalah jenis kayu rotan tua. Panjangnya sekitar 200 sentimeter yang
digunakan untuk senjata pemukul lawan.
Sendeng
biasa disebut dengan tameng terbuat dari kayu jenis pelaik, yakni jenis kayu
lempung yang didapat dari hutan. Ukurannya bulat berdiameter 25 cm, fungsinya
sebagai penahan serangan lawan.
Pertunjukan
itu sengaja dipertontonkan untuk menyambut 23 rombongan mahasiswa Strata Dua
(S2) Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia di tanah lapang Taman Makam Ratu
Sepudak, Sabtu ( 13/6).
Satu
di antara mahasiswa Malaysia berasal dari Korea Selatan dan Brunai Darussalam
yang tertarik mendalami kebudayaan Melayu Indonesia-Malaysia.
Mereka
sengaja datang dengan tujuan untuk melakukan penelitian dan pengkajian seni
budaya Melayu Sambas. Dari lima jurusan yang ada di kampusnya, yakni bahasa,
sastra Melayu, lingusitik, sosio budaya dan kesenian Melayu. Rombongan dipimpin
langsung Dr Sumarsono, dulu ia dosen Universitas Tanjungpura, Pontianak
Tari
Otar- Otar hanya ada di desa itu, sekarang terancam punah. Karena tinggal
tersisa orang- orang tua yang masih punya kepedulian untuk mempertahankan seni
tari Otar- Otar.
Tari
itu adalah gabungan seni tari, kuntau dan silat. Jika diperagakan menghsilkan
gerak dan langkah yang indah dan membuat detak jantung berdebar saat melihat
pertunjukan itu. Karena peragaan tari Otar- Otar mengunakan senjata Marau.
Sasarannya adalah lawan di hadapannya.
Tari
itu sengaja diperagakan pemainnya untuk mengenalkan kepada mahasiswa Malaysia
untuk tradisi seni tari masyarakat Kota Lama.
Menurut
cerita Kepala Dusun Kota Lama dulunya sebutan Desa Ratu Sepudak karena ada
seorang ratu keturunan Majapahit bernama Ratu Sepudak pada (1609) datang ke
Kota Lama dari utusan Raden Sulaiman merupakan anak dari Raja Tengah menikah
dengan putri Raja Tanjungpura bernama Ratu Surya.
Sehingga
pada jaman itu, Kota Lama adalah sebuah kerajaan. Dan tari Otar- Otar sejak
dulunya memang sering diperagakan masyarakat untuk mengisi acara kerajaan.
Seperti acara pernikahan anak raja, dan acara besar lainnya.
Mining
(37), pemain senior tari Otar- Otar menceritakan, belajar seni tari Otar- Otar
ia dapatkan dari gurunya, Nek Momod dan Asun. Keduanya sudah almarhum.
Gurunya
pernah berkata kepadanya, tari Otar- Otar bukan sekedar pertunjukan. Jika sudah
menguasai tari ini bisa digunakan membela diri dari serangan musuh.
Begitu
juga melakukan pertunjukkan. Pemainnya sudah dibekali dengan mantra. Sehingga
gerak dan langkah tari bergerak dengan sendirinya tanpa kendali pemain.
“
Tidak sembarang pemain bisa menerima mantra, “ kata Mining. Hanya pemain yang
memiliki jiwa bersih yang bisa menerima mantra tadi.
Bisa
dilihat saat orang biasa menirukan gerak dan langkah tari Otar-Otar, sekilas
memang dianggap mudah. Cukup dengan mengayunkan Marau, menangkis Marau dengan
tameng. Tapi pemain sesungguhnya semua gerakan seirama dan terpola. Butuh
latihan yang lama untuk mendalami seni tari Otar- Otar, katanya.
Sekarang
tinggal ia dan ke empat temannya, Mohana, Heri dan Inong, masih sering tampil.
Biasanya pada acara besar di desa, yakni perkawinan, atau undangan dari Pemkab
Sambas untuk tampil menyambut tamu dari luar negeri.
Setelah
itu, ia bersama pemain tari lainnya kembali ke kebun karet dan sahang, mencari
penghasilan ekonomi keluarganya.
Bahkan,
tawak – tawak yang biasa digunakan untuk tampil kondisinya sudah rusak alias
pecah. Jika tawak ditabuh, suaranya tidak menggema dibanding kondisi masih
bagus. Harga tawak berkisar Rp 3 juta. Dana sebesar itu tidak mudah dibeli bagi
Mining dan lainnya. Butuh uluran tangan donatur dan Pemkab Sambas, temasuk pola
pembinaan generasi muda, npada akhirnya seni tari Otar- Otar tidak punah
ditelan jaman.
Sumarsono
bersama mahasiswanya merasa kagum dengan pertunjukan tari Otar- Otar. Sekaligus
prihatin, tari Otar- Otar diambang punah jika tidak serius mempertahankannya.
Butuh
kesadaran semua pihak, bagaimana menjaga tradisi kebudayaan itu terus
berkembang. Pada akhirnya seni tari menjadi komoditas khas daerah untuk
ditampilkan pada pergelaran acara lainnya.
Ia
juga menceritakan maksud dan tujuan kunjungannya ke Sambas karena Sambas
merupakan salah satu daerah yang memiliki kebudayaan Melayu yang beraneka
ragam.
Baginya,
sekarang tidak banyak mahasiswa yang tertarik mengambil jurusan budaya Melayu.
Yang ada justru jurusan akademik di bidang teknologi sehingga tidak banyak yang
tahu kebudayaan Melayu sesunguhnya seperti pada, bahkan wujudnya bagaimana.
Di
Malaysia sendiri, dialek bahasa Melayu sudah jarang ditemukan. Hanya di sebuah
perkampungan yang masih dihuni warga Melayu dengan mempertahankan tradisi yang ada.
Sementara
di pusat kota, bahasa Melayu sudah bercampur dengan bahasa lainnya, seperti
Inggris, karena banyak pemuda yang sudah mengenyam pendidikan di luar negeri,
sehingga bahasa Melayu dan Inggrisnya sering digunakan masyarakat Malaysia.
Nah,
kunjungannya ke Sambas merupakan bagian dari mendalami Melayu di Sambas.
Hasilnya akan menjadi sebuah referensi mahasiswa setelah melihat secara
langsung kebudayaan Melayu Sambas itu sendiri.
Keinginan
lebih mendalami kebudayaan Melayu, rombongan Universiti Malaya, berkesempatan
mengunjungi Dusun Sebadi, Desa Trimandayan, Kecamatan Teluk Kemarat.
Di
desa itu dijadikan desa kebudayaan dari Pemkab Sambas, karena masyarakat di
sana masih menaruh perhatian kebudayaan Melayu, yakni seni tari. Sebut saja,
tari Ratib Saman, Mayong, Bubu, Radat, dan Pantun Bekesah.
Tari
Bubu dan Mayang sebuah gambaran tentang menjunjung tinggi kearifan lokal. Bubu
istilah masyarakat Sebadi adalah alat untuk menangkap ikan. Bahannya terbuat
dari rakitan bambu membentuk kurungan sehingga ikan bisa terjaring di dalamnya.
Surji
(72), adalah penari Bubu dan Mayang. Ia satu- satunya pemain tari yang masih
tersisa. Bahkan hingga kini ilmu tarinya masih belum ia turunkan kepada
generasi selanjutnya.
Baginya,
seni tari bubu ia dapatkan dari almarhum Nek Aki atau sebutan kakek, Abdul
Rajak ( 115) kemudian diturunkan kepada ayahnya Mat Amin (80).
Cerita
tari Bubu awalnya dari cerita rakyat tentang sepasang anak sedang berada di
sungai untuk mencari ikan mengunakan bubu. Pada waktu itu jala atau pukat masih
belum ada. Sepasang anak tadi sedang singgah di bawah pohon rindang, kemudian
melihat dua tetes air jatuh ke tanah. Tetesan air tadi berubah wujud menjadi
kemenyan. Sehingga kemenyan itu dibakar diusap ke bubu, dengan seketika bubu
bergerak melingkar dengan sendirinya.
Dari
situ, seni tari bubu dipertunjukkan. Awalnya Surji membakar kemenyan. Asap
kemenyan diusap di bubu. Satu pemain lainnya memegang bubu. Dengan membacakan
syair- syair pantun Melayu, seketika bubu bergerak meskipun dipegang pemain.
Bahkan lima orang mahasiswa universiti Malays diberi kesempatan memegang bubu
tidak sanggup menghentikannya.
Sementara
Surji sedang asyik membaca syair Pantun Melayu. Setelah usai membacakan, bubu
pun tidak bergerak lagi.
Begitu
juga dengan tari Mayang mirip dengan tari Bubu, hanya saja medianya dari
pelepah Mayang, biasa ditemukan di hutan. Mulanya tari itu bertujuan untuk
mencari jodoh.
Selain
itu ada tari Ratib Saman. Gerakannya hampir sama dengan gerakan salat. Dulunya
tari itu digunakan untuk mengobati orang sakit dan mengusir roh jahat dari
dalam rumah.
Tari
Saman dipertunjukkan tujuh sampai sembilan orang. Sedikit hentakan kaki
diiringi dengan syair Islam dengan gerakan serempak. Tari Saman menarik untuk
disaksikan. Salah satu pemain tari Ratib Saman adalah Hamdan, terlihat khusuk
membawakan seni tari itu sambil menyebut lafaz Islam.
Ketua
rumah budaya Desa Sebadi mengatakan, seni tari Ratib Saman belum banyak
menyebar ke daerah lain. Dan kesadaran masyarakat untuk tertarik belajar seni
tari Saman juga masih kurang.
Barangkali
hasil kunjungan mahasiswa Malaysia dapat memberikan masukan dan manfaat
mempertahankan tradisi seni tari Ratib Saman dan seni tari lainnya. Dan
menjadikan referensi mereka untuk mengkaji dan mengabadikan seni tari mereka di
Malaysia, kata Hamdan.
Sementara
ketua regu mahasiswa Malaya, Amin mengatakan kekaguman dari rangkaian kunjungan
di Sambas, mulai dari keramahtamahan masyarakat hingga sambutan yang didapat.
Seperti
sambutan pagelaran tari di Desa Kota Lama dan Sebadi. Begitu juga dengan jamuan
makannya. “Sungguh luar biasa, “ katanya. Karena sama sekali tidak mengira
bahwa masyarakat dan Pemkab Sambas menyambut mereka dengan begitu hangatnya,
kata Amin.
Rencananya
hasil rangkaian kunjungan ini akan dibuat referensi berbentuk buku tentang
kebudayaan Sambas, nantinya akan digarap oleh teman mahasiswa Universiti Malaya
bersama dosen pembimbing. Setelah itu hasilnya akan dibagikan kepada masyarakat
Pemkab Sambas, khususnya Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Sambas, yang
turut berperan besar mensukseskan kunjungan mereka.
Tinggal
kita tunggu saja “action” dari mahasiswa peneliti daerah kita yang ingin
mengkaji budaya Melayu Sambas, kapan memulainya? jika tidak ingin kebudayaan
kita hanya bisa diketahui lewat negara lain.
EmoticonEmoticon