"Mereka punya cita-cita…
Mereka ingin jadi menteri atau
bupati…
Sayang, Mereka hidup di tengah
sampah…
Mereka makan dari sampah…
Indonesia kaya raya…
Mengapa Mereka menderita…"
Di antara tumpukan sampah, bau yang menyenggat, di situlah ribuan pemulung menggantungkan
hidup. Di antara tumpukan sampah TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, itu
pula terselip kisah ironis kehidupan kaum marginal. Ratusan anak dengan rela
berkutat dengan limbah-limbah rumah tangga maupun industri, untuk ikut membantu
orangtuanya mencari nafkah.
Inilah realitanya. Faktor ekonomi, telah membentuk anak-anak ini menjadi
seorang pemulung. Seperti halnya yang saya temui, bocah 9 tahun yang
bernama Tono. Bocah ini terpaksa memulung untuk membantu kedua orangtuanya. Ia
adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Dungkat dan Sutini.
memilah-milah sampah…
Setiap hari, Tono membantu kedua orangtuanya. Ia bertugas
memisahkan sampah plastik dan kaleng.Tak peduli lalat-lalat beterbangan dan bau tak sedap menyeruak dari
timbunan sampah. Ia dan ibunya terlihat
sangat bersemangat memilah-milah sampah. Ia tak jijik. Hal ini sudah biasa ia
lakukan tiap siang hari.
Sudah 20 tahun, keluarga ini menggantungkan hidup pada
sampah. Bagi kita, sampah tak bernilai. Tapi bagi mereka, sampah adalah sumber
penghidupan. Bila sampah banyak, rupiah lumayan. Bila sedikit, tak jarang
keluarga Tono ini tak cukup makan. Dalam satu hari, rata-rata keluarga Tono
mendapat penghasilan sebesar Rp 20.000,-. Dibilang cukup, tidak. Dibilang
tidak, itulah rejeki yang didapat keluarga asal Indramayu, Jawa Barat ini.
Jangankan buat menyekolahkan anak-anaknya, untuk makan
saja mereka pas-pasan. Beruntung, di TPA Bantar Gebang, terdapat sekolah gratis
khusus anak-anak pemulung bernama SD Dinamika Indonesia, di Desa Ciketing
Udik, Bantar Gebang, Bekasi.
Di sekolah swadaya masyarakat ini, Tono beserta kedua saudaranya mengenyam
pendidikan tanpa pungutan biaya. Tono dan juga anak-anak pemulung lainnya diajari
ilmu pelajaran, ketrampilan, agama serta kehidupan. Mereka semangat belajarnya
tinggi. Menulis,
membaca, berhitung adalah pelajaran yang sangat digemari para anak-anak
pemulung ini.
16 Tahun Ibu Tuti Mengabdi
Ibu guru Tuti Haryanti
Sudah 16 tahun ibu Tuti Haryanti mendidik anak-anak
pemulung ini tanpa pamrih. Ia kerap menangis, saat pulang mengajar, dirinya
harus melihat anak didiknya mengais barang bekas di antara tumpukan sampah. Ia
sedih, mengapa mereka harus ditakdirkan menjalani hidup seperti ini? ”Tidak
semestinya anak-anak ini menjalani hidup seperti orangtuanya (memulung),” ujar
Ibu guru Tuti kepada saya.
mengajar tanpa pamrih…
Airmatanya tak bisa lagi dibendung ketika saya
bertanya seputar kesehatan anak-anak pemulung. ”Mereka seperti tidak peduli
dengan bau busuk. Saya kadang terenyuh kalau melihat mereka memungut sampah di
bulog,” tuturnya sedih. Bulog adalah istilah gunung sampah, gunung rejeki bagi
para pemulung Bantar Gebang.
Saya bisa menebak, dalam hati Ibu guru Tuti memprotes. Tidak semestinya,
masa belajar anak-anak pemulung ini dihabiskan
dengan mencari nafkah. Mereka
harus belajar. Mereka adalah generasi muda yang berhak memiliki masa depan yang
lebih baik.
Tuti Haryanti, guru kelas I SD, ini mengenang, butuh
jalan panjang menyakinkan para orangtua anak-anak pemulung ini untuk
menyekolahkan mereka. Paradigma yang ada; Anak adalah Aset. Maklum, faktor
ekonomi satu tantangan berat menghadapi paradigma itu.
bertekad mencerdaskan anak-anak pemulung…
Lewat tekad dan niat yang kuat, Ibu guru Tuti blingsutan dari gubuk ke
gubuk, untuk membujuk para orangtua agar anak-anak mereka diberi kesempatan
mengenyam pendidikan. Perlahan, ia mampu menyakinkan para orangtua bahwa
pendidikan sangat penting agar anak mereka kelak tidak buta huruf. ”Saya punya
tekad, anak-anak pemulung ini punya hak untuk belajar dan cerdas,” tegasnya
bersemangat.
Saya pun sepaham dengan ibu Tuti. Terlepas, entah itu
dikategorikan eksploitasi anak atau tidak, adik-adik pemulung ini juga berhak
mendapatkan pendidikan yang layak. Meski hidup di bawah garis keterbatasan,
mereka tak harus tertinggal dalam dunia pendidikan. Anak-anak pemulung ini
berhak untuk bisa membaca, menulis, serta menjadi anak yang kreatif dan percaya
diri.
Tekad Kuat Mencerdaskan
Untuk mendidik anak-anak pemulung ini, ibu Tuti harus
ekstra sabar dan telaten. Apalagi, kehidupan mereka serba bebas dari pantauan
orangtua. Pagi hingga sore menjelang, anak-anak ini ditinggal orangtuanya pergi
memulung. Praktis perhatian orangtua tidak ada sama sekali.
Meski berat, ibu Tuti bertekad akan terus memberikan
pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak pemulung ini. Ia ingin kelak
anak-anak ini menjadi orang yang berprestasi dan memiliki kehidupan yang lebih
baik. ”Minat belajar mereka itu tinggi. Sayang kan kalau hanya memulung, dapat
uang dan bermain,” tandasnya sembari mengelus dada.
sedih, prihatin melihat anak didiknya
memulung…
Hanya satu tekad ibu guru Tuti; setia mencerdaskan
anak-anak pemulung. Mereka berhak pandai. Dan mereka berhak menjadi inovatif dan kreatif. ” Saya ingin dan berharap agar
tidak ada lagi kotak-mengkotakkan pendidikan. Semua, baik miskin, kaya, juga berhak
mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu,” ujarnya. Bagi saya, hidup
memang pilihan. Dan tentunya, tidak ada yang mau memilih hidup dalam
keterbatasan.
Tono dan anak-anak pemulung lainnya adalah generasi
bangsa yang memiliki masa depan. Mereka berhak bersekolah. Mereka berhak untuk
bisa membaca dan menulis. Mereka juga berhak hidup yang layak.
Melalui tulisan ini, semoga kita semua tersadar, bahwa keterbatasan tidak
menjadi halangan dalam menuju masa depan. Semuanya berawal dari tekad dan
semangat. Satu pelajaran yang saya ambil dari ibu guru Tuti; “Walau beribu
kesulitan menghadang dan menghimpit, hal itu tak akan sedikit pun menyurutkan
langkah,”
Sebelum saya beranjak dari tempat itu, ada pesan tegas dari Ibu guru Tuti
yang disampaikan; “Pemerintah harus turun tangan dalam
mencerdaskan anak-anak pemulung ini…” Salam…(rizaldo, karpetmerah
011211)
EmoticonEmoticon